Tumbuhkan Humanisme, Pluralisme hingga Toleransi dalam Anak Bangsa (LCF National Writing Competition)

By
Advertisement


Dalam tujuan, saya sama dengan gereja yaitu melayani kemanusiaan, meskipun berbeda keyakinan.
-KH Abdurrahman Wahid

            Marak terjadinya penganiayaan terhadap orang yang berbeda keyakinan membuat kaum minoritas menjadi was-was. Beberapa bulan yang lalu terjadi penghancuran gereja serta penganiayaan terhadap jamaah gereja di Sleman, Yogyakarta. Pun beberapa hari yang lalu terjadi hal serupa di jalan Kaliurang, dan itu juga terjadi di Yogyakarta. Selain masalah perbedaan keyakinan yang membuat konflik, ada juga masalah lain seperti rasial dan konflik antar suku juga masih marak terjadi. Dibalik itu semua (keyakinan, suku, ras), kita lupa akan satu hal yang mendasar, bahwa kita itu sama-sama manusia. Tidakkah berpikir bahwa sesama manusia harus saling membantu agar kebutuhannya terpenuhi? Bukan malah mengatakan “ini kami, itu kalian” tetapi mari mulai berkata “kita”. Mungkin memang terdapat perbedaan-perbedaan antar manusia yang satu dengan yang lain, namun harusnya kita melandasi itu semua dengan rasa humanis yang tinggi. Humanis yang tinggi akan menghasilkan sebuah gagasan bahwa kita ini plural, sehingga pada puncaknya kita akan mencapai suatu kata, yakni toleransi.

            Banyaknya suku di bangsa yang besar ini menandakan rawan juga terjadi konflik. Tidak hanya masalah suku namun juga perbedaan cara pandang antara sesama pemeluk agama (Islam) juga turut menimbulkan konflik. Yang paling jelas ialah konflik antara Sunni dan Syiah. Indonesia sebagai penduduk yang mayoritas muslim Sunni seperti sedang mengekang kaum Syiah, walaupun hanya beberapa oknum yang melakukannya. Sebagai contoh baliho-baliho dipinggir jalan yang mengatakan “Syiah bukan Islam”, hal sepert itu akan membentuk paradigma anak-anak yang membacanya akan menimbulkan rasa takut sebelum mengenal atau belajar tentang Syiah itu sendiri. Itu akan mematikan daya kritis anak, sehingga akan berakibat terhadap psikis anak ke depan. 
            Buya Safii Maarif mengatakan inti dari nilai toleransi ialah tidak memaksakan hukum keagamaan di dunia ini kepada orang yang tidak beriman, beriman itu baik, tetapi tidak boleh memaksakan terhadap orang ateis. Begitupun kita sebagai manusia, kita hidup berdampingan dengan siapapun namun kita harus melihat koridor yang kita kenakan itu pas atau tidak. Tentu semua agama itu bertujuan baik, baik untuk pengikutnya, pun baik untuk agama lain. Tidak ada agama yang mengatakan agama lain itu lebih rendah, itu hanya oknum tertentu yang melakukannya, dan tentu saja demi kepentingan tertentu. Walaupun tetap terjadi perbedaan antara agama-agama yang ada di dunia namun itulah fungsi dari pluralisme itu sendiri. Pluralisme hanya digunakan ketika terjadi konflik perbedaan, jika tidak terjadi konflik maka pluralisme kurang berperan, karena pluralisme itu sendiri digunakan sebagai sebuah alat pendamai atau alat mediasi bagi yang berkonflik. Oleh karena itu alangkah baiknya kita tanamkan rasa pluralisme kepada anak bangsa sejak dini.
            Seperti yang sudah saya katakan di depan bahwa memunculkan rasa humanis terlebih dahulu setelah itu anak bangsa diperkaya dengan pluralisme maka tidak mungkin anak itu akan menjadi fundamental terhadap salah satu sekte atau aliran. Memunculkan ketiga hal tersebut merupakan hal yang harus dilaksanakan orang dewasa untuk mendidik anaknya sedari kecil. Seperti contoh yang pernah saya baca, disuatu sekolah di Amerika Serikat melakukan suatu pembelajaran. Anak-anak dikumpulkan di suatu ruangan dan di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kaca besar (ruangan tersebut mirip ruang latian ballet), setelah itu para murid di hadapkan pada kaca tersebut. Sang guru berkata, “lihat anak-anak, kita itu sama, punya hidung, tangan dan kaki, warna kulit itu hanya luarnya, sejatinya kita sama, sama-sama manusia yang diciptakan oleh Tuhan”. Konflik SARA (suku, ras dan agama) timbul karena sedari kecil anak sudah “dimasuki” paham-paham yang mengatakan “ini kita, bukan kalian”. Maka dari itu jika setiap orangtua maupun guru seperti guru di Amerika Serikat, bukan tidak mungkin, kehidupan manusia terbebas dari konflik SARA (suku, ras dan agama).   

Profil penulis:



Perkenalkan saya Ferianta (20 tahun)
Mahasiswa semester 5 di Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Mengambil tema : Toleransi dan Kemajemukan Bangsa Indonesia


           

0 comments:

Post a Comment